Pagi itu, 4 Agustus 1965, di pagi hari disaat sedang asyik menikmati sarapan paginya, tiba-tiba Bung Karno merasa mual dan muntah-muntah.

Seperti pagi-pagi sebagaimana setiap harinya, saat itu Bung Karno sedang menerima tamu di beranda belakang istana dalam acara rutin coffe breakfast, namun kejadian pagi itu menyebabkan sang Presiden tidak dapat menyelesaikan sarapannya.

Foto : www.merdeka.com

Sebagaimana dikisahkan dalam buku yang ditulis Julius Pour“Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan dan Petualang”, Penerbit Buku Kompas, 2010, Komandan Detasemen Kawal Pribadi Tjakrabirawa saat itu, AKBP Mangil Martowidjojo, gugup dan panik saat melihat sakitnya Bung Karno itu.

Sebagai pengawal pribadi Presiden, sudah pasti Mangil merasa terkejut atas sakitnya Bung Karno yang mendadak di pagi itu.

Sejenak terlintas rasa bersalah dan penyesalan dihati Mangil.

Wajar saja ia merasa bersalah, karena ia ingat betul kejadian di malam hari sebelumnya. Saat itu ia mendampingi Bung Karno hingga tengah malam dalam sebuah inspeksi mendadak meninjau operasional Depo Pertamina di Plumpang.

Malam itu Bung Karno marah besar. Ia murka melihat pengelolaan operasional BBM di Depo Pertamina yang dianggapnya amburadul. Inspeksi mendadak Bung Karno ke Depo Petamina ini berkaitan dengan keluhan masyarakat atas kondisi kelangkaan BBM yang menimbulkan antrian BBM di mana-mana.

Setelah melampiaskan kemarahannya, Bung Karno merasa lapar karena hingga hampir tengah malam belum makan malam. Beliau minta dicarikan tempat makan karena sebelum berangkat tadi, ia belum sempat makan di istana.

Kondisi Jakarta yang belum ramai saat itu, membuat sulit bagi Mangil untuk menemukan rumah makan dan restoran yang masih buka di daerah sana.

“Karena hari sudah terlalu larut malam dan memang telah lewat tengah malam, cuma ada sebuah warung sate kambing yang bertemu masih buka dekat Cilincing. Bapak lalu memutuskan, yo wis, ana kene wae (Ya sudah, disini saja)”, ujar Mangil mengenang kejadian malam itu.

Foto : www.gudeg.net

Dan ternyata di pagi itu, entah hanya sebuah kebetulan saja atau memang ada hubungannya dengan makanan yang disantap Bung Karno malam itu. Namun yang pasti esok harinya sang Presiden mendadak sakit dan muntah-muntah hingga beberapa kali.

Peristiwa sakitnya Bung Karno tak bisa dianggap enteng, apalagi berita tersiar dengan begitu cepat ke seantero negeri. Terlebih lagi, hasil pemeriksaan dokter yang didatangkan dari RRC menunjukkan gejala yang tidak baik bagi Bung Karno, mereka menyimpulkan ada indikasi kegawatan terhadap masalah kesehatan Bung Karno.

Keadaan dianggap semakin genting, karena peristiwa sakitnya Bung Karno ini terjadi bertepatan dengan bulan Agustus, bulan “keramat” bagi bangsa Indonesia yang merayakan kemerdekaannya.

Sudah jadi kebiasaan, disetiap perayaan 17 Agustus, maka pidato Bung Karno adalah hal yang amat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia. Apakah Bung Karno mampu melaksanakan tugas sakralnya itu nanti ?

Berita sakitnya Bung Karno menyebar cepat dan memanaskan suhu politik dalam negeri. Banyak pihak cemas.

Sebab saat itu, cuma Bung Karno yang dianggap tokoh yang bisa dianggap mampu mempersatukan semua elemen bangsa, terutama 3 golongan besar yang sebenarnya saling bersaing rebutan pengaruh, yaitu golongan agama, golongan nasional dan golongan komunis.

Oleh Bung Karno, ketiga golongan ini kemudian dikumpulkan dan direkat dalam satu wadah kesatuan politik yang bernama “Politik Nasakom”.

Foto : www.kaskus.co.id

Selain itu, Bung Karno juga yang menjadi penengah dan meredam perbedaan pandangan dan perebutan pengaruh antara golongan sipil dengan pihak Angkatan Bersenjata terutama Angkatan Darat yang cukup mendominasi dalam mewarnai perpolitikkan negeri kala itu dibawah pimpinan AH Nasution dan Ahmad Yani.

Sehingga peristiwa sakitnya Bung Karno menjadi perhatian yang amat sangat, terutama bagi PKI. PKI merasa posisinya akan terancam bila terjadi perpecahan dan perebutan kekuasaan dengan para lawan politiknya.

Terlebih lagi bila seandainya Bung Karno wafat, atau terjadi sesuatu yang buruk pada Bung Karno yang menyebabkan ia tak dapat lagi melaksanakan tugasnya.

Maka tak heran, dalam keadaan was-was dan genting itu, Partai Komunis Indonesia (PKI), mengistilahkannya dengan perumpamaan “Ibu Pertiwi sedang hamil tua”.

PKI mulai ambil ancang-ancang untuk membuat suatu aksi untuk singkirkan lawan-lawannya politiknya. Angkatan Darat dan golongan agama adalah pihak yang selama ini dianggap anti-komunis yang paling keras selalu menentang dan menghalang-halangi berkembangnya paham komunis di Indonesia.

Golongan agama telah berhasil mereka singkirkan, setelah Partai Masyumi yang merupakan lawan berat PKI, telah dibubarkan oleh Bung Karno karena dianggap dan dituduh berpihak kepada pergolakkan di daerah Sumatera dan Sulawesi dalam peristiwa PRRI dan Permesta.

Foto : www.newswantara.com

Maka praktis, kini hanya tinggal Angkatan Darat lah yang masih menjadi momok dan batu sandungan bagi mereka untuk menancapkan pengaruhnya di Indonesia.

Terbukti, sejarah telah mencatat bahwa hanya berselang hampir 2 bulan setelah sakitnya Bung Karno itu, pada 30 september 1965, PKI melaksanakan aksi kejinya terhadap 7 Perwira TNI-AD dalam Operasi G-30S.

Sejarah juga yang kemudian mencatat, bahwa peristiwa berdarah subuh hari 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya itu, kemudian menjadi titik balik bagi runtuhnya paham komunis di Indonesia, sekaligus sebagai penanda bagi berakhirnya sebuah era dan dimulainya zaman baru dalam politik Indonesia